News

Kalender Sunda, Kebudayaan Sunda yang Hilang

284
×

Kalender Sunda, Kebudayaan Sunda yang Hilang

Sebarkan artikel ini
Kalender Sunda, Kebudayaan Sunda yang Hilang

BANDUNG BARAT (CAMEON) – Ada yang berbeda di Aula Multidimensi Observatorium, Sabtu (3/6/2017). Sejumlah akademisi dan budayawan berkumpul dalam agenda Tumpek Manis.

Agenda ringan yang dikemas cukup menarik tersebut menghasilkan sebuah gagasan demi kemajuan kebudayaan sunda di Jawa Barat. Terutama untuk perhitungan sunda. Kalender tersebut dianggap cukup unik. Sebab, memadukan unsur agama, pertanian dan astronomi.

Akan tetapi di zaman yang serba canggih ini, kalender sunda tidak cukup populer. Bahkan, dikalangan perguruan tinggi masih belum dipelajari secara khusus.

Menurut Pegiat Astro-Environment Supardiyono Sobirin, kalender sunda ini bermaksud untuk menjaga lingkungan. “Kalender ini disesuaikan dengan karakter alam. Kegunaannya untuk bisa berbaur dengan alam,” ujar Supardiyo disela-sela kegiatan.

Diakui olehnya, kesalahan manusia tidak bisa membaca gejala alam. Sehingga, tanpa disadari ada sejumlah kerusakan alam.

Lebih jauh, dalam kalender sunda terdiri empat musim. Dua musim mirip dengan kalender masehi. Tambahannya, yaitu musim pancaroba yang sering disebut Dandarat dan Musim Labuh sebagai musim yang mendekati hujan.

Di tempat yang sama, perwakilan dari Bengkel Studi Budaya Miranda, diperkirakan kalender sunda sudah ada pada abad ke-11. Namun, di beberapa wilayah sudah diterapkan. Diprediksi hitungannya, jauh sebelum abad tersebut.

“Seperti di Suku Baduy, Ciptagelar dan Kampung Naga memiliki hitungan yang lebih lama lagi,” jelasnya.

Dalam kalender sunda yang dikaji saat ini, memiliki hitungan Suklapaksa Srawana 1953 Caka Sunda. Jumlah tersebut, lebih muda dari hitungan masehi. Hitungan masehi, saat ini sudah mencapai 2017.

Perbedaannya disebabkan, karena hitungan kalender sunda yang sedang dikaji, diprediksi dilakukan pada saat Sultan Agung menjabat. “Sehingga, secara otomatis hitungannya akan berbeda dengan Kalender Masehi,” ungkapnya.

Lebih jauh, di sejumlah daerah seperti Bali sudah menggunakan kalender tersendiri disamping menggunakan kalender masehi. Untuk itu, adanya kalender sunda diharapkan menjadi rujukan budaya seperti daerah tersebut.

“Hitungan masehi tetap jalan, begitu juga hitungan sunda. Bisa menjadi rujukan dalam berbisnis dan pertanian,” pungkasnya. (Putri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *