JAKARTA, (CAMEON) – Nokia pernah berjaya sebagai merek telepon seluler paling populer. Namanya melambung di atas awan. Jadi penguasa pasar. Hampir menjadi merek “paten”. Ponsel ya Nokia. Ibarat menyebut rinso untuk detergen. Pergi ke warung beli rinso, yang disodorkan merek lain. Begitupun Nokia.
Tapi, itu dulu. Sekarang Nokia nyaris tinggal nama. Para pengguna telepon seluler jarang menyebutnya. Konon, terpuruknya Nokia lantaran mereka tidak mau berinovasi. Saat datang era android, mereka anteng dengan karyanya.
Saat datang pesaing baru, mereka tak tergerak untuk bergerak. Jumawa. Merasa diri sudah di atas yang lain. Alih-alih bergerak menyesuaikan dengan perkembangan teknologi, Nokia asyik dengan mainannya sendiri.
Saat Apple kali pertama mengeluarkan iPhone, 2007, Nokia angkuh dengan pendiriannya. Symbian tetap yang terbaik. Lalu datang BlackBerry dan Android. Nokia goyah. Ia mulai runtuh. Berusaha bangkit, namun terlambat. Kini Nokia sudah dianggap kuno.
Mereka menyepelekan para inovator yang datang dengan ide-ide segar. Ada pelajaran penting yang wajib dijadikan pegangan. Jangan sepelekan inovasi. Kesuksesan sebuah usaha berbanding lurus dengan inovasi.
Perusahaan yang tidak inovatif, tunggu saja tanggal kehancurannya. Di era kemajuan teknologi seperti sekarang, kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh modal besar dan pandai meramu strategi. Jika inovasi dilupakan, percuma saja. Anti-inovasi sama saja bunuh diri.
Sekarang eranya sangat dinamis. Pergerakan begitu cepat menuntut perubahan. Dunia cepat berubah wajah. Kemarin, jika butuh sesuatu harus keluar rumah. Sekarang duduk manis pun bisa dapat barang yang diinginkan. Pesan delivery order. Selesai. Itulah salah satu contoh kecil berinovasi dalam marketing. (pey)
Foto: STIMIK STIBA Nusa Mandiri





