News

Fenomena Sound Horeg, Budaya Rakyat atau Gangguan Lingkungan?

46
×

Fenomena Sound Horeg, Budaya Rakyat atau Gangguan Lingkungan?

Sebarkan artikel ini

JATIM (CM) – Belakangan ini, fenomena sound horeg tengah menjadi bahan perdebatan sengit di masyarakat.

Sebagian pihak menolak karena merasa terganggu oleh suara keras yang ditimbulkan, sementara sebagian lainnya mendukung kehadiran sound horeg sebagai bentuk hiburan.

Perdebatan ini semakin memanas setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap penyelenggaraan sound horeg baru-baru ini.

Untuk diketahui, sound horeg merupakan istilah untuk parade sound system yang digelar di lingkungan perkampungan dengan volume suara sangat tinggi hingga menimbulkan getaran pada benda-benda di sekitarnya (horeg).

Menurut Antropolog Universitas Brawijaya, Nindyo Budi Kumoro, kemunculan budaya sound horeg di Jawa Timur terkait dengan beberapa faktor tipologi masyarakat setempat, khususnya di wilayah selatan.

Faktor pertama, masyarakat kawasan selatan Jawa Timur dikenal lebih toleran dan terbiasa dengan suara keras.

“Misalnya saat hajatan, mereka senang menyewa sound system dengan volume keras. Selain itu, di pagi hari mereka suka mendengarkan musik dangdut untuk membangkitkan semangat,” jelas Nindyo, Senin.

Faktor kedua, terkait perbedaan budaya kesenian rakyat dan priyayi di masa lalu. Kesenian rakyat yang mayoritas petani cenderung lebih ekspresif dan keras, seperti jatilan dan bantengan, berbeda dengan kesenian keraton yang lebih halus dan lembut.

“Itu sebabnya, budaya baru seperti sound horeg yang keras lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan, sementara kelompok kontra umumnya berasal dari kalangan priyayi atau masyarakat urban,” terangnya.

Faktor ketiga, terkait kondisi ekonomi masyarakat menengah ke bawah, yang cenderung mencari hiburan dengan biaya murah.

“Banyak faktor yang saling terkait hingga memunculkan sound horeg sebagai produk budaya baru,” lanjutnya.

Namun demikian, Nindyo menilai, budaya seperti sound horeg tidak akan bertahan lama apabila penolakan dari masyarakat lebih besar dibanding dukungannya.

“Suatu produk budaya hanya akan lestari apabila tingkat penerimaannya lebih besar dibanding tingkat penolakannya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *