BANDUNG BARAT (CM) – Pemerintah Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) memilih bungkam saat disinggung terkait dugaan pungutan liar (pungli) yang terjadi di Unit Pasar Rajamandala.
“Pak Kades lagi ke kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) KBB,” ujar Sekretaris Desa Rajamandala Kulon, singkat Wini saat dikonfirmasi Cakrawalamedia.co.id, Rabu (16/2/2022).
Disinggung soal rencana revitalisasi pasar Rajamandala Kulon serta tak dilibatkannya Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), salah seorang perangkat desa yang mengaku sebagai Badan Permusyawaratan Desa (BPD) meradang.
“Itu tidak mendasar, berita Cakrawalamedia.co.id juga sudah dibaca dan itu tidak ada keterangan bahwa kepala desa sulit dihubungi,” ujar Haerul.
“Kita akan membuat keterangan hak jawab kami kepada perusahaan media lain. Bukan hanya ke Cakrawalamedia saja. Nanti saja dijawabnya,” tambahnya dengan nada tinggi.
Menurutnya, pemberitaan yang muncul di Cakrawalamedia.co.id tersebut tak sesuai dengan kode etik jurnalisme. Haerul menegaskan, jika terdapat indikasi menyudutkan (delik). Pemdes Rajamandala Kulon akan mengambil sikap tegas.
“Maaf sebelumnya, dalam pemberitaan Cakrawalamedia.co.id itu tak sesuai kode etik jurnalis. Jika ada indikasi delik kita akan mengambil langkah sesuai hukum,” tutupnya.
Baca Juga : Kasus Covid-19 di KBB Naik, 37 Ranjang Rumah Sakit KBB Terisi
Sebelumnya, ratusan pedagang selama berbulan-bulan ditarik retribusi tanpa ada dasar hukum yang jelas.
Setelah peralihan kelola pasar dari Pemerintah Daerah KBB ke Pemerintah Desa Rajamandalakulon sejak bulan Juni 2021 lalu, pungutan retribusi tidak memiliki dasar hukum. Pemdes menarik karcis terhadap pedagang pasar sebesar Rp4 ribu rupiah per hari.
“Kalau pas pengelolaan sama Pemda, karcis retribusi cuma Rp3 ribu. Setelah dikelola sama desa, sekarang retribusinya jadi Rp4 ribu. Ditambah uang ronda Rp1.500,” ujar Oma (62) salah satu pedagang.
Pungutan retribusi itu terdiri dari uang kebersihan dan keamanan sebesar Rp2 ribu dan pungutan pedagang sebesar Rp2 ribu. Pungutan itu diambil setiap kali para pedagang pasar berjualan.
“Pasar Rajamandala ini kan tidak setiap hari buka. Bukanya satu minggu 3 kali, senin, rabu dan jumat. Jadi retribusi sebulan ya tinggal kalikan aja,” kata Oma.
Selama berbulan-bulan sampai saat ini, Pemerintah Desa tidak pernah menggelar musyawarah desa untuk menerbitkan peraturan desa (Perdes) mengenai pengelolaan pasar satu kali pun. Selama itu pula pemungutan yang dilakukan oleh pemerintah desa tidak memiliki dasar hukum.
Selama ini, BUMDes tak pernah dilibatkan dalam urusan pengelolaan pasar. Jangankan untuk membuat dasar hukum (Perdes), untuk sekadar dilibatkan dalam pengelolaan pun tidak.
“Kita tidak pernah dilibatkan sama sekali sejak peralihan kelola dari Pemda ke Pemdes. Jadi kita sama sekali buta soal itu,” kata Ketua BUMDes Rajamandalakulon, Rahmat saat dihubungi.(wit)