News

Dewan Kota Tasik Akan Bahas Lebih Dalam Soal Kekurangan Guru

202
×

Dewan Kota Tasik Akan Bahas Lebih Dalam Soal Kekurangan Guru

Sebarkan artikel ini

TASIKMALAYA (CM) – Kekurangan jumlah guru khususnya tingkat Sekokah Dasar di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya yang mencapai 1.000 orang, berpotensi tak optimalnya proses belajar mengajar. Berdasarkan penuturan Kepala Dinas Pendidikan, Budiaman Sanusi yang menyatakan bahwa idealnya satu orang  guru memegang 20 peserta didik.

Namun fakta yang ada, tidak sedikit guru yang mengajar di beberapa kelas, bahkan jam mengajarnya pun melebihi batas standar yang ditentukan yakni 24 jam. Untuk mengatasinya, Pemerintah Kota Tasikmalaya harus segera mencari solusi agar dampak yang mungkin timbul dari kekurangan guru dapat diminimalisir.

Saat diminta tanggapan, Kamis (01/04/2019), Anggota Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya, Dodo Rosada mengatakan pemerintah daerah terkendala kebijakan rekrutmen pegawai yang ranahnya merupakan kebijakan pemerintah pusat. Andaipun memang dijatah oleh pemerintah pusat, menurutnya, Pemkot bisa menyampaikan usulan berikut argumentasinya soal kondisi jumlah guru.

“Bahwa sampai saat ini tenaga pendidik khususnya guru SD masih kekurangan, dan berpotensi mempengaruhi proses belajar mengajar. Mungkin jika kondisi ini disampaikan ke pemerintah pusat, nampaknya pusat juga akan memahami,” katanya.

Ia mencontohkan, jika Kota Tasik hanya dijatah sedikit, baik itu porsi dari rekrutmen CPNS atau P3K yang ternyata memang masih kurang dan jauh dari kata ideal untuk menutupi kebutuhan guru, tinggal diusulkan kembali sebagai kuota tambahan dibarengi dengan berbagai argumentasi.

“Kita (Komisi I) pernah beberapa kali meminta data jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ada di lingkungan Pemkot Tasik, setelah keberadaan SMA/SMK diambil alih kewenangannya oleh Provinsi. Kalau melihat jumlah pegawai yang ada, rasanya dianggap sudah ideal sesuai dengan jumlah sumber anggaran pendapatan yang diperoleh Pemkot,” tegas Dodo.

Saat itu, pihaknya hanya meminta data secara universal atau jumlah keseluruhan pegawai yang ada di Pemkot Tasikmalaya, tidak secara farsial. Ternyata dari aspek lain, di kalangan pendidik kekurangannya cukup banyak. “Salah satu pemicu, mungkin tadinya banyak tenaga pendidik yang pindah atau dimutasi menjadi pejabat struktural. Untuk mengatasi persoalan ini, dengan mengembalikan guru pada garapan semula atau back to basic dapat menjadi solusi alternatif. Jadi selain merekrut guru baru juga dapat mengembalikan guru yang berada pada jabatan struktural yang berada disejumlah SKPD lain,” ujar ia.

Dodo menjelaskan, kalau harus terus menerus menambah jumlah pegawai nantinya bakal menjadi beban daerah, termasuk juga harus menghitung risiko anggaran meski memang ASN menjadi beban APBN atau pemerintah pusat. “Tapi kan untuk memenuhi hak pegawai seperti TPP dan lainnya, itu jadi beban pemerintah daerah,” ungkap Dodo.

Menurutnya lagi, Pemkot dapat mengkaji ulang keberadaan ASN yang semula merupakan tenaga pendidik dan kini menjadi struktural untuk diberdayakan kembali guna menanggulangi persoalan kekurangan guru. Pola itu, katanya, mungkin saja dilakukan sebab kalau harus memenuhi kekurangan seribu guru sangat tidak mungkin untuk dilakukan. “Sekarang tinggal diinventarisir berapa jumlah guru yang saat ini menduduki jabatan struktural. Ini dapat menjadi salah satu solusi sebelum mengadakan rektutmen,” imbuhnya.

Kemudian, saat disoal pemberdayaan tenaga guru honorer, ia mengatakan harus ada kejelasan statusnya, karena mereka dibutuhkan demi kelancaran proses belajar mengajar, namun disisi lain haknya harus diperhatikan. Jika statusnya sebagai guru honorer, sumber anggarannya tidak jelas.

Karena, lanjut Dodo, satu sisi dituntut memberikan pengajaran dalam rangka membentuk karakter dan mencerdaskan generasi penerus bangsa yang akan datang, tapi di sisi lain haknya harus diperhatikan. “Saat ini untuk membayar gaji para guru honorer hasil dari menyisihkan anggaran yang diperoleh sekolah. Dengan kata lain sumber anggarannya tidak jelas. Kan segala sesuatu itu harus jelas sumber anggarannya darimana, kalau memang mau menggunakan istilahnya tenaga guru honorer,” tegasnya.

“Apalagi kalau kita mengadopsi Undang-undang tentang pegawai yang mendapat legitimasi hanya ASN dan P3K yang bisa dianggarkan, baik dari APBN atau APBD. Kalau guru honorer sumber anggarannya darimana? Jadi pada intinya nasib para guru honorer ini harus jelas, di sisi lain pemerintah berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, di sisi lain guru sebagai narsumber dalam mencerdaskan generasi bangsa harus diperhatikan juga kesejahteraannya,” sambung Dodo.

Oleh karena itu, kata ia, perlu adanya keseimbangan dari aspek keadilan jangan hanya sekedar menugaskan saja, tetap harus bertanggungjawab dari sisi kesejahteraannya. “Kalau hanya menugaskan, semangatnya pun mungkin tidak akan sama dengan mereka yang mendapat gaji sesuai,” terangnya.

Kemudian, Dodo menegaskan, tingkat kualitas pendidikannya harus diperhatikan. Jika kesejahteraan gurunya tak terjamin, ia menilai tidak akan bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan memberikan gaji yang sesuai, Dodo menyebut hal itu untuk mendorong agar para guru lebih bersemangat, bertanggungjawab dalam menjalankan tugas mengajar, sehingga peningkatan kualitas pendidikan bisa tercapai sesuai dengan yang ditargetkan. “Tapi jika sebaliknya, maka akan menjadi persoalan tersendiri nantinya,” ujar ia.

“Ini kan proses pendidikan yang berkelanjutan dan berkesinambungan, lain halnya dengan menyuruh seseorang untuk mengantar surat, misal, sifatnya sesaat dan selesai pada saat itu juga. Kalau pendidikan kan tidak seperti itu, ada berbagai tahapan, sifatnya permanen, berkelanjutan dan berkesinambungan,” tuturnya.

Melihat kondisi yang ada, sambung Dodo, perlu ada pembahasan lebih mendalam, dan pihaknya nanti akan mengkomunikasikan di Komisi I guna membahas persoalan yang cukup krusial tersebut, karena hal itu menurutnya akan mengganggu terhadap jalannya proses peningkatan kualitas pendidikan di Kota Tasikmalaya khususnya.

“Kita pun harus melakukan evaluasi, inventarisir berapa jumlah guru yang ada. Bandingkan dengan jumlah peserta didik yang ada, idealnya jumlah guru yang dibutuhkan itu berapa, harus ada standar jumlah dan alat ukur yang jelas. Kita perlu data yang akurat, agar bisa dibahas bersama, perlu pembahasan dan ditinjau dari berbagai aspek, tidak bisa diselesaikan secara sepihak oleh satu instansi saja, tapi juga harus dibahas bersama, bila perlu dengan kepala daerah, instasi terkait dan DPRD, guna mencari solusi, untuk mengatasi kekurangan jumlah guru tersebut,” kata Dodo.

Ia berpendapat bahwa istilah tenaga honorer sebetulnya tidak jelas karena menyangkut keberlangsungan pendidikan, terlebih berbicara peningkatan kualitas pendidikan yang katanya segala sesuatunya harus jelas, termasuk status guru dan pendapatannya.

Hingga berita ini diterbitkan, tim redaksi belum memperoleh keterangan atau tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk menanyakan upaya yang dilakukan guna mengatasi persoalan tersebut, dikarenakan pejabat terkait sedang dinas luar. (Sp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *