News

Cerita Saeful, Radio Butut, dan Rumah “Kandang Ayam”

387
×

Cerita Saeful, Radio Butut, dan Rumah “Kandang Ayam”

Sebarkan artikel ini

KABUPATEN TASIKMALAYA, (CAMEON)- Sore itu, suara radio butut mendayu serak dari sebuah rumah tua, lusuh, dan pengap. Kalau boleh dikata, rumah bekas kandang ayam berjeruji besi itu lebih mirip kandang binatang.

Matahari memang sudah beranjak dari peraduan. Tapi cuaca di Kabupaten Tasikmalaya masih temaram. Awan hitam sesekali menyekap bersama iringan pergantiann tahun baru Imlek, di Jumat (27/1/2017) sore itu.

Bagi Saeful Mikdar (23) warga kampung Guha Sari RT 02/06  Desa Bojongsari Kecamatan Gunung Tanjung Kabupaten Tasikmalaya, cuaca cerah atau pun badai sama saja. Karena sejak 8 bulan lalu, Saeful sudah berada di rumah tua itu. Ia seperti burung dalam sangkar.

Di pojok rumah tua itu ada sebuah dapur bekas kandang ayam. Di sanalah terdapat ruangan pengap tempat Saeful tinggal. Ukurannya sekitar 1,5 x 1,4 meter persegi.

Pintu di ruangan itu ditutup rapat. Ukuran kuncinya besar seperti gembok rooling door. Karpet di lantainya sudah bercampur dengan lapisan tanah yang mengering berpadu dengan bau anyir dan pesing.

Dinding ruangan itu adalah perpaduan antara tembok kapur dan bilik kayu. Sebagian pelapis dinding itu adalah bilah besi yang dipasang tak beraturan. Ventilasi yang ada jeruji besinya terpasang asal-asalan. Sungguh, perpaduan semua ini bukanlah karya seni arsitektural.

Di ruangan pengap itulah suara radio itu mendayu. Frekuensi saluran radio yang ditancap Saeful dari dalam ruangan terdengar tidak pas. Ada suara-suara gema lainnya yang membuat nada penyiar tidak terdengar sempurna.

Tapi Saeful menikmatinya. Radio itulah satu-satunya “makhluk” yang menemani dia selama ini. Iya. Radio itu lebih manusiawi daripada manusia-manusia sekitarnya yang sepertinya sudah mati rasa.

CAMEON bersama rekan wartawan Kompas TV dan pengurus yayasan Fadla Nur Syabaniah Cahaya Keadilan, lembaga yang peduli kepada orang sakit jiwa, berkunjung ke sana. Kami menginjakan kaki di dekat ruangan pengap itu.

Belum lama kami berada di sana, Saeful sudah terperangah. Barang tentu, kedatangan manusia ke tempat tinggal Saeful adalah perkara yang sangat langka. Selama ini, dia sendirian di balik ruangan itu dan melakukan segalanya disana, makan, BAB, BAK, tidur, dan segalanya.

Suara Saeful terdengar dari balik ruangan pengap itu. “Rek dibawa kamana urang? Di dieu wae urang mah. Ngeunah didieu (Mau dibawa kemana saya? Disini saja saya. Nyaman disini,” suara Saiful terdengar keras, melebihi suara radio butut yang sedari tadi bergema.

Ketika diajak berbicara, Saeful yang usianya masih produktif itu menanggapi santai. Setiap lontaran pertanyaan serta obrolan yang mengalir dari lisannya, terdengar begitu lugu, jujur, polos dan tidak dibuat-buat.

“Kahayang Saeful naon?”

“Halah. Urang mah euweuh cita-cita. Geus wae kieu ngeunah. Montong dibawa kaluar. Garalak jelemana. Sieun urang mah. (Halah. Saya tidak punya cita-cita. Sudah nyaman seperti ini. Jangan diajak keluar. Orangnya galak-galak. Takut saya),” beber Saeful.

Saat ditanya, apakah dia mau diajak berobat, sekali lagi Saeful menolak. Namun, saat ditanya apakah dirinya menyayangi keluarganya, dia pun terdiam.

“Nyaah pisan ka kolot mah atuh. Nya Nyaah ari keur cageur mah. (Sayang banget ke orang tua tentunya. Tapi sayang kalau sedang sehat/normal),” bebernya kemudian terdiam lagi untuk waktu yang agak lama. Lalu, suara radio butut itu kembali berdendang.

Nani (60), ibunya Saeful tentu menyayangi buah hatinya itu. Siapa yang mau, anak yang dikandung, dilahirkan dan dibesarkan harus menghabiskan hari-harinya seperti “binatang.”

Meskipun sangat menyayangi anaknya, namun apalah daya, nani tetap tidak berdaya kala anaknya harus dimasukan ke dalam kerangkeng besi itu.

“Ini bukan keinginan saya. Semua ini atas keinginan masyarakat yang merasa terganggu dengan keberadaan Saeful yang mengalami kelainan jiwa,” ujar Nani, dengan sesekali bercampur logat sunda yang sangat khas.

Nani yang sudah lanjut usia itu bercerita. Anaknya pada awalnya hidup sebagai manusia normal. Malah, Saeful tumbuh menjadi pemuda yang bersahaja, rajin beribadah dan taat pada orang tua.

Namun belakangan, tiga tahun lalu tepatnya, anaknya berubah. Kala itu, langit mulai gelap usai adzan Maghrib. Saeful pergi ke sebuah sungai.

“Mungkin anak saya kemasukan makhluk gaib di sungai itu. Saeful jadi berubah setelah itu,” ungkap Nani.

Mulanya, perubahan sikap Saeful dianggap biasa saja. Namun kemudian, Saeful dinilai banyak meresahkan masyarakat setempat. Pada 8 bulan yang lalu, tetangga-tetangga Nani bermusyawarah. Kesimpulannya akhirnya, Saeful telah mengganggu ketertiban umum dan harus dikerangkeng.

“Akhirnya dia dalam kerangkeng besi. Di dalam itu dia tidur, makan, buang air dan lainnya. Tentu saya sedih melihat keberadaan Saeful begini,” tuturnya terbata.
Nani yang seorang janda itu memasuki usia senja. Seharusnya, Nani sudah menikmati masa tua dengan gembira. Setidaknya, kebutuhan dia bisa dicukupi oleh anaknya yang sudah dewasa.

“Suami sudah meninggal empat tahun yang lalu. Sekarang saya harus menjalani hidup yang serba kekurangan, untuk makan pun pagi makan sore kadang tidak. Saya sudah tidak bisa bekerja, tenaga sudah tidak berdaya,” lirihya.

Pernahkah mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah? Nani geleng-geleng kepala. Nani pun seperti yang tidak familier dengan Bupati Tasikmala Uu Ruzhanul Ulum yang kini sedang sibuk mengampanyekan dirinya menjadi pemimpin di level Provinsi Jawa Barat.

“Kepada siapa kami harus mengadu. Keluarga, tetangga, pengurus setempat RT/RW tidak ada yang peduli, Apalagi pemerintah boro-boro mau datang kesini,” tandas Nani pasrah.

Terpisah, salah seorang tokoh masyarakat setempat membantah jika warga tidak peduli. Justru, pilihan untuk dikerangkengnya Saeful dianggap yang paling baik bagi keluarga miskin ini.

“Saeful di kerangkeng atas dasar hasil kesepakatan warga. Warga merasa terganggu karena dulu Saeful ngamuk, sampai melempar-lempar batu ke rumah warga,” pungkasnya. (Edi Mulyana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *