News

Bukan di Swiss, Gondola Ala Lembang Justru Dipakai Pertanian

272
×

Bukan di Swiss, Gondola Ala Lembang Justru Dipakai Pertanian

Sebarkan artikel ini
Bukan di Swiss, Gondola ala Lembang Justru Dipakai Pertanian
Gondola ala Lembang digunakan untuk Pertanian

BANDUNG BARAT (CM) – Apa yang terpikir kala disebut kereta gantung atau gondola? Ya. Benar sekali. Otak kita akan menerawang pada sebuah moda transportasi, keindahan pemandangan alam, kesan mewah, berada di ketinggian, sekaligus mampu memicu adrenalin.

Tapi tunggu dulu. Ketika disebut kereta gantung yang satu ini jangan menyamakannya dengan Peak2peak Gondola yang ada di Kanada, atau Sugarloaf Mountain Gondola di Brazil, Langkawi Cable Car di Malaysia, Kereta Ngong Ping 360 di Hong Kong atau mungkin Gondola Stanserhorn Cabrio di Swiss.

Ini berbeda dari yang disebutkan di atas. Tapi percayalah, urusan ketinggian, pemandangan dan bahkan definisi transportasi ini ada di dalamnya. Bedanya, Gondola yang satu ini bukan mengangkut manusia melainkan makanan manusia.

Inilah cara kreatif para petani di Kampung Gandok Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat (KBB). Para petani di sini memang punya cara unik untuk mengangkut hasil pertanian mereka, yakni dengan cara diangkut pakai kereta gantung.‬

‪Karakteristik geografi Desa Suntenjaya dengan daerah perbukitan yang curam dan tingkat elevasi tanah yang tinggi menjadi tantangan bagi petani saat mengangkut hasil pertanian dari lembah ke atas bukit.‬ ‪Namun, berkat “Sasak Apung Padjadjaran” yang dua tahun lalu dibangun, petani tidak lagi menggunakan cara tradisional yakni dipanggul untuk membawa hasil pertaniannya.

Awal mula pembangunan kereta gantung ini atas prakarsa mantan Rektor Unpad Ganjar Kurnia saat melakukan monitoring ke daerah tersebut.‬ Inilah asal muasal moda ini dengan Sasak Apung Padjajaran.

‪Penanggung Jawab Sasak Apung Padjadjaran, Ulus Pirmawan mengatakan, ide dicetuskannya pembuatan alat angkutan modern hasil pertanian ini berawal pada 2014 lalu saat mahasiswa dan dosen Unpad yang magang di Desa Suntenjaya menyempatkan diri meninjau aktivitas petani di Kampung Gandok.

Mereka merasa iba saat melihat petani harus memikul hasil pertanian yang beratnya mencapai 100 kg.‬ Kondisi perkampungan yang berbukit bukanlah perkara gampang membawa beban teramat berat.

‪”Sebelum alat ini ada, petani harus menempuh jarak sejauh 400 meter dengan medan yang sangat terjal serta kondisi lahan pertanian yang berada di bukit, ditambah dengan akses jalan yang masih tanah dan sempit mengakibatkan hasil pertanian lama sampai tiba di pasar,” ungkap Ulus, belum lama ini.

‪Masih di tahun 2014, sambung Ulus, tim yang terdiri dari beberapa dosen Unpad ini kemudian melakukan riset pembuatan alat, termasuk di antaranya mengukur kapasitas, kondisi tanah, hingga kedalaman pasak tiang penyangga.‬

‪”Rektor Unpad langsung meninjau kemari, setelah satu bulan disurvei kemudian langsung dibikinkan. Semua biayanya dari Unpad,” ujarnya.‬

‪Bagian-bagian kereta gantung pengangkut sayuran ini terdiri dari motor penggerak, kabin, tiang penyangga, tali pengangkut dari kawat baja serta tempat kendali dan alat komunikasi. Kawat baja dibentangkan sejauh 270 meter dengan ketinggian dari dasar tanah mencapai 50 meter.‬

‪Untuk sekali jalan, alat ini mampu menahan beban sampai 300 kg dan hanya menghabiskan waktu perjalanan kurang dari 5 menit.

“Kalau dulu sebelum alat ini ada, pengangkutan dilakukan buruh angkut yang memakan waktu sampai 30 menit, bisa tambah lama karena orang yang mengangkutnya harus istirahat dulu, bayarannya Rp400/kg untuk sekali angkut, “tuturnya.‬

‪Setiap harinya, berbagai macam hasil sayuran seperti tomat, kol, cabai, brokoli, buncis, terong dan lain-lainnya diangkut menggunakan alat ini. Sampai dua tahun dioperasikan, belum pernah ada orang atau sayuran yang terjatuh ke dasar tanah, yang jadi kendala adalah sering matinya aliran listrik. ‬

‪”Sehari bisa mengangkut sampai 1 ton sayuran, pupuk juga. Daya listriknya awet, pulsa listrik Rp100 ribu bisa cukup untuk 20 hari,” bebernya.‬

‪Diakuinya, daerah pegunungan di Desa Suntenjaya, aktifitas pengangkutan barang masih banyak dilakukan oleh tenaga manusia secara keseluruhan meski jalan yang ditempuh sulit dilalui. Oleh karena itu, keberadaan kereta gantung pengangkut sayuran ini manfaatnya sangat dirasakan karena dapat membantu kerja manusia.‬

‪Selain dapat mengangkut hasil pertanian, Sasak Apung Padjadjaran ini juga dapat mengantarkan petani dan bisa disewakan kepada wisatawan. Tiap kali pengangkutan sayuran ditarif Rp 100/kg, pupuk kandang Rp 1.000/kg, petani Rp 2.000/orang dan wisatawan Rp 10.000/orang.‬

‪”Hasil retribusi perbulan akan digunakan untuk gaji operator, sewa kepada pemilik lahan yang digunakan untuk tiang pancang dan penyimpanan barang, pembelian token pulsa listrik dan perawatan alat, “katanya.‬

‪Ke depannya, Ulus memimpikan Desa Suntenjaya khususnya Kampung Gandok bisa dijadikan daerah wisata. Secara bertahap, dengan keuntungan yang didapat dari penyewaan Sasak Apung Padjadjaran akan disisihkan untuk pembangunan sarana prasarana seperti jalan raya.‬

‪”Di sekitar ini ada lokasi wisata air terjun dan Bukit Batu Kereta yang sampai sekarang belum terjamah wisatawan.  Kita juga memimpikan kampung ini dikunjungi anak SD agar mereka dilatih kemudian tertarik bertani, karena tak dipungkiri jika generasi muda sekarang jarang yang mau jadi petani,” jelas Ulus. (Naim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *