News

Aminah Berkisah Minyak Tanah, Mulyana Tetap Setia

634
×

Aminah Berkisah Minyak Tanah, Mulyana Tetap Setia

Sebarkan artikel ini
Aminah Berkisah Minyak Tanah, Mulyana Tetap Setia
ilustrasi pedagang minyak tanah keliling

CIMAHI (CM) – Siapa yang tidak tahu minyak tanah? Iya, cairan hidrokarbon yang tak berwarna dan mudah terbakar dan sering dipakai untuk kebutuhan bahan bakar ini menjadi primadona dalam medio 4 dekade, sejak 1970 silam.

Puncaknya pada tahun 90-an. Minyak tanah menjadi kebutuhan pokok kehidupan. Sebagian menggunakannya untuk keperluan kompor di dapur, dan sebagian masyarakat memakai minyak tanah untuk lampu penerangan.

Aminah (57), warga Puri Cipageran 2 Desa Tanimulya Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat (KBB) adalah salah satu saksi sejarah tentang penggunaan minyak tanah. Bahkan kata dia, setiap warung kala itu menyediakan drum untuk menampung minyak tanah.

“Dulu mah ya apa-apa pake minyak tanah. Anak jaman sekarang mungkin tidak akan tahu bagaimana pentingnya minyak tanah,” kata Aminah, saat berbincang dengan CAMEON di warungnya, di Perumahan Puri Cipageran 2 Blok D RW 14, belum lama ini.

Aminah adalah warga asli Padalarang. Ia mengaku, sejak usianya kepala 4 sudah membuka warung kecil-kecilan. Dengan pengalamannya itu, Aminah mengklaim paling tahu harga minyak tanah yang dijual eceran hingga terakhir kali dilihatnya tahun 2007 silam.

Dulu, kata dia, harga minyak tanah sebelum krisis moneter hanya sekitar Rp 200 saja perliternya. Bahkan karena murahnya, minyak tanah kerap dipakai mainan anak-anak untuk bakar-bakaran sampah hingga bermain lodong yang kerap menghamburkan minyak tanah.

Kenaikan harga minyak tanah terasa setelah era reformasi dan tahun 2000-an. Harga minyak awalnya mencapai Rp 750, lalu Rp 1.000, terus merangkak naik hingga mencapai Rp 5.000 perliternya. Dan karena harganya semakin tak terjangkau, dia mengaku mulai bermigrasi ke gas.

“Dulu depan warung itu banyak drum. Sebagian bekasnya ada yang dipake tempat sampah, sebagian lagi entah kemana,” katanya sambil terkekeh.

Pentingnya minyak tanah dan setiap warung menjual bahan bakar tersebut tentu dapat dipahami normal. Pasalnya kala itu, setiap rumah memang memiliki kompor minyak dan alat penerangan berupa lampu minyak.

Minyak tanah menjadi kebutuhan paling pokok seperti pulsa kala sekarang. Tak heran dulu, aktivitas penjual minyak tanah keliling menjadi pemandangan sehar-hari yang tentu akan sangat aneh diera saat ini.

Bagi dia, kisah minyak tanah sudah punah. Seiring pemberlakuan migrasi ke kompor gas bersubsidi sejak jaman pemerintahan SBY-JK, berangsur tapi pasti, minyak tanah hilang dari kehidupan. Aminah pun mengaku tidak lagi melihat bagaimana minyak tanah dijual bebas.

“Dulu mah banyak yang jualan minyak juga kliling. Minyaaakkk, nyaaakk…nyak…. banyak ya keliling kampung dan perumahan-perumahan. Sekarang mah tinggal kenangan,” tutup Aminah.

Jika Aminah lama tak menemukan minyak tanah, lain halnya dengan Mulyana (61), seorang tukang kue bandros yang kerap keliling berjualan sekitar Kota Cimahi. Bagi bapa asal Cikajang Garut ini, minyak tanah masih menjadi kebutuhan pokoknya berjualan.

“Pake minyak tanah tiap hari. Kompor yang saya pakai agak besar, 16 sumbu ini. Kalau pake yang lain (selain minyak tanah) tidak pas panasnya, harus pake ini,” kata Mang Mul, sapaan akrab Mulyana, saat ditemui CAMEON di depan Gerbang Tegalkawung Garden Cipageran Cimahi Utara Kota Cimahi, kemarin.

Mang Mul bercerita, dirinya menghabiskan minyak tanah setiap hari sekitar 2 liter untuk menjual bahan baku kue surabi berbahan beras tepung 5 kg. Jika habis semua jualannya, dia bisa mendapatkan omset sekitar Rp 100 ribu rupiah.

Memang terlihat besar duit yang dia dapat. Namun Mang Mul mengungkapkan, salah satu beban terbesarnya adalah untuk menutupi modal membeli minyak tanah.

“Harganya Rp 12 ribu perliter. Kalau dua liter ya setiap hari sudah Rp 24 ribu. Besarnya disitu, sama harga kelapa sekarang yang naik terus, katanya hujan jadi kelapa mahal,” ungkapnya.

Mang Mul mentgakui, minyak tanah menjadi pengeluaran paling boros karena kue sorabi yang dia jajakan itu harus terus hangat. Kondisi kompor berbahan bakar minyak pun wajib menyala selama dia berkeliling.

“Beda sareng (dengan) tukang cuanki. Seuuer anu ngangge (pake) solar. Pedagang lain ada yang dicampur dengan solar dan minyak tanah, tapi pami (kalau) dicampur apinya jelek,” kata Mang Mul.

Berbeda pula dengan penjual jenis penganan lain yang bisa menggunakan alternatif kompor gas bersubsidi. Jika menggunakan “Si Melon” maka konsekuensinya alat untuk berjualan harus lebih besar.

Lantas, apakah Mang Mul tertarik memakai kompor gas? “Kedah dina roda ageung, atanapi icalanna mangkal. Sesah sareng kedah modal ageung. (Harus memakai roda besar atau berjualannya mangkal. Susah dan harus modalnya besar),” tutup Mang Mul. (Naim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *