LEMBANG, (CAMEON) – Ada yang berbeda dari pembuatan batako di kampung batu loceng, Desa Sutenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Biasanya batako dibuat dari pasir, semen dan ditambah sedikit air. Akan tetapi di kampung tersebut batako berbahan dasar dari kotoran sapi (batapi).
Kebanyakan orang menganggap kotoran sapi sebagai hal yang menjijikan dan tidak bermanfaat. Walaupun begitu, pembuatan batapi sudah berjalan sejak tahun 2011.
Yang menjadi menarik lagi, batapi ini tidak dijual belikan seperti batako pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan, masih banyak pro dan kontra apabila batapi tersebut dijadikan dinding rumah. Tidak sedikit yang menganggap batapi jika masih terdapat najis. Sehingga tidak boleh digunakan dalam pembuatan bangunan rumah.
Sebagian lagi mengatakan batapi tersebut boleh digunakan. Karena najis yang terdapat pada kotoran dicampur dan hilang saat proses pembuatan batapi.
Pada akhirnya, Ketua Kelompok Tani Ternak, Cece Royadi, hanya memberikan secara cuma-cuma bagi siapa saja yang membutuhkan. “Kalau ada yang membutuhkan baru kita kasih, kalau tidak ada ya tidak dikasih, takutnya terjadi apa-apa,” ucapnya saat ditemui di rumahnya, belum lama ini.
Batapi akan diberikan secara cuma-cuma apabila ada keluarga yang tidak mampuĀ membuat rumah. Paling tidak pihaknya bisa menyumbang bata.
Diakui olehnya, pembuatan dan pengolahan batapi cukup sederhana. Bahkan tidak jauh beda dengan pembuatan batako pada umumnya. Hanya saja kotoran sapi tinggal dicampur tanah dan semen sesuai dengan takaran. Kemudian diaduk dan dicetak serta dikeringkan.
Dia menjelaskan pembuatan batako tersebut berawal dari melihat banyaknya kotoran sapi yang dibuang ke sungai Cikapundung. Inovasi ini dilakukan untuk menjaga kebersihan sungai.
Menurutnya, walaupun batapi tersebut tidak dijual, saat ini produksi kotoran sapi di sana bisa berkurang. Sebelumnya, kotoran sapi di daerah tersebut mencapai 3,5 ton/hari. Setelah dimanfaatkan sebagai batako, kotoran sapi di sana berkurang hingga satu ton.
Sisanya, kotoran sapi dijadikan pupuk dan pakan cacing. Kalau untuk pakan cacing, warga disuruh menanam cacing. Dirinya sengaja memberikan cacing tersebut kepada warga, lalu seminggu kemudian warga menjual kepada dirinya. Kotoran sapi yang dijadikan pakan cacing, bisa dijadikan sebagai pupuk juga.
“Untuk yang dijadikan pupuk, kalau khusus buat kelompok di sini perminggunya itu rata-rata menghasilkan 90 kiloan,” tuturnya.
Dia menambahkan, untuk perorangan, dalam seminggunya rata-rata 10 sampai 15 kilogram pupuk. Sementara harganya mencapai Rp 15 ribu/kilo.
Dia berharap, khususnya bagi petani ternak lainnya, tidak lagi membuang kotoran sapi ke sungai. “Karena kotoran sapi masih bisa dimanfaatkan dan bisa menghasikan. Juga, dapat menciptakan lapangan pekerkaan,” katanya.
Selain itu, dalam satu tahun terakhir terdapat salah satu relawan Jerman yang tertarik dengan hal itu, Rhea. Alasan utama bule cantik mengunjungi tempat tersebut yaitu turut membantu dan menjaga lingkungan dengan memanfaatkan kotoran sapi. “Saya mau bantu di proyek batu loceng untuk lindungi lingkungan hidup,” tegasnya.
Dia juga mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap kondisi lingkungan di sana. Terutama kondisi sungai Cikapundung, terdapat banyak sampah sehingga membuat air sungai Cikapundung sangat kotor. Akan tapi, ada banyak orang yang bantu dan mau ganti situasi. “Kondisi sungai sudah cukup kotor, tapi saya mengapresiasi warga yang mau mengurangi kondisi tersebut,” ujarnya.
Sama seperti Cece, dia berharap lingkungan sekitar bisa bersih dan tidak ada lagi yang membuang sampah di sungai Cikapundung. “Sungai Cikapundung harus bersih dan tidak ada lagi orang yang membuang sampah di Sungai Cikapundung,” pungkasnya. cakrawalamedia.co.id (Nta)





