BANDUNG BARAT (CM) – Baryat (62), seorang petani, tengah duduk di pinggiran pematang sawah di Kampung Waru Jambe RW 15, Desa Rajamandalakulon, Kecamatan Cipatat, KBB. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya merawat tanaman padi yang siap dipanen pada Mei mendatang.
Baryat sendiri mengelola lahan seluas lebih dari 100 hektar dan dia masih mempertahankannya, berbeda dengan petani lain yang melepaskan lahan pertaniannya untuk pembangunan perumahan pesona 7 Rajamandala.
Baryat mengataan, masih mendapatkan keuntungan dari pertanian walaupun sedikit, alasan utama dalam mempertahankan sawahnya. Karena dalam satu tahun pertanian tersebut bisa memanen tiga kali.
“Satu tahun bisa memanen 3 kali, tidak tahu kedepannya bagaimana karena sebagian petani memilih menjual lahan pertanian ke pengembang perumahan. Padahal ini lahan produktif,” ujar Baryat (bukan nama sebenarnya) saat ditemui wartawan, Sabtu (9/4/2022).
1. Berkurangnya Ekosistem Sawah, Khawatir Dampak Pembangunan Perumahan Merusak Ketahan Pangan.
Lahan yang dirawat Baryat merupakan warisan orang tuanya sejak 1970an. Alasan dia memilih mempertahankan lahan pertaniannya, pertama karena kondisi tanah bagus dan tidak pernah gagal panen. Hasil panen seimbang dengan biaya.
“100 tumbak itu disini bisa memanen padi sebanyak 9 kwintal, ini lahan bagus, dan tidak pernah kurang dari air. Saya khawatir dampaknya merusak ketahanan pangan disini,” ungkanya.
Baca Juga : Kapake By Iyank, Butik Murah yang Tetap Modis di Bandung Barat
Dari puluhan petani, Baryat dan sembilan petani lainnya memilih bertahan karena lahan diwilayah itu salah satu daerah yang menghasilkan padi terbanyak di Kecamatan Cipatat.
“Saya dan sembilan orang lainnya akan terus pertahankan tanah ini,” kata dia.
2. Diduga Petani Mendapat Intimidasi dan Ancaman.
Baryat menjelaskan, dirinya sempat mendapat ancaman dari salah satu calo yang memaksa untuk menjual lahan pertaniannya. Dia mencatat sudah empat kali didatangi oleh pihak pengembang untuk menjual tanahnya.
“Empat kali pihak pengembang itu menawari saya untuk menjual lahan pertanian. Dia (calo) bicara, kalau tidak dijual irigasi akan ketutup oleh benteng perumahan. Saya tolak dan saya marahi mereka agar tidak memaksa saya, ini lahan yang bagus untuk pertanian kok mau dihancurkan oleh pembangunan perumahan” kesal Baryat.
“Sekarang para petani yang menjual tanahnya itu pada nyesel. Pertama itu dibayarnya secara bertahap sebanyak empat kali bayar. Ko beli tanah seperti kredit saja,” tambahnya, geleng kepala.
3. Harga Lahan Ditetapkan Oleh Pengembang Tanpa Musyawarah.
Menyesalnya para petani itu, lanjut Baryat diakibatkan oleh tak sesuainya harga. Per-meternya dihargai oleh pengembang sebesar Rp200 ribu. Sementara lahan tersebut produktif dalam menghasilkan padi.
“Aneh saja harga ditetapkan oleh PT KPN, seharusnya di tetapkannya oleh para petani sebagai pemiluk tanah. Jadi ada ring satu sampai tiga dalam memainkan harga tanah, dan ini dibeli secara paksa,” ungkap Baryat.
Baryat dan sembilan petani lainnya pun mempertanyakan kebijakan Pemerintah Desa Rajamandala Kulon, yang memberikan izin kepada PT KPN untuk membangun perumahan di wilayah RW 15.
“Saya heran kenapa Kades dan RW memberikan izin, kalau ga ada izin mah ya ga akan mungkin bisa membangun. Saya mah ga dijual memilih bertahan, kalau pertama rapat mah bicaranya bagus ga akan dibenteng dan ga akan memaksa,” ucapnya.
4. Produksi Pertanian Turun, Pengangguran Semakin Banyak.
Dampak dari pembangunan perumahan Pesona 7 Rajamandalakulon tersebut, kata Baryat, selain kepada turunnya produksi pertanian, yakni pengangguran semakin meluas. Seperti halnya, petani yang sudah menjual tanahnya, mereka tak memiliki pekerjaan lain.
“Pikir saja yah, pengembang membeli tanah dengan dibayar secara bertahap. Petani mau beli tanah lagi juga pada mahal sekarang. Ini petani itu didatangi oleh mereka setiap hari, dan sekarang mereka jadi pengangguran. Seharusnya Kades dan RW itu mensosialisasikan dulu, ini malah mereka yang paling depan,” tegasnya.(wit)