TASIKMALAYA (CM) – Seorang nenek tua hidup terpencil di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Hidup di saung reyot yang bocor dimana-mana, tak ada penerangan listrik dan makan mengandalkan belas kasihan dari tetangga.
Mak Entat namanya. Diusianya yang sudah sangat sepuh, 80 tahun, dia harus bergelut dengan kerasnya kehidupan. Pikirannya setiap hari harus dihadapkan pada urusan sandang, pangan dan papan.
Akses menuju tempat tinggalnya tidaklah mudah, sekitar 2 KM ke jalan utama. Jalan menuju rumahnya berlapis tanah dengan terusan jalan langsung menghadap bibir pantai. Rumah itu terletak di tengah kebun, di Kampung Cijulang Ngadeug RT 02/07 Desa Mandalajaya Kecamatan Cikalong Kabupaten Tasikmalaya.
Rumah gubuknya itu tentu akan membuat dia sangat kepayahan menjalani kehidupan, kedinginan dimalam hari dan terik tanpa pelindung saat siang datang. Bangunan rumahnya berukuran sekitar 3×4 meter, dikelilingi pohon pisang dan berlantai tanah.
Bangunan saungnya tidaklah kokoh. Jika ada senggolan keras ke tiang bambu rumahnya sudah pasti akan roboh. Tiang utamanya sudah terlihat miring tak lagi berbentuk siku 90 derajat.
Atap saungnya terbuat dari daun pohon kelapa, dan dindingnya berbahan campuran aneka rasa. Mulai dari batang pohon kelapa, beberapa potong bekas spanduk dan ada pula bekas payung butut.
Untuk urusan mandi cuci kaktus lebih tidak layak lagi. Tidak ada septictank berstandar pola hidup sehat menurut dinas kesehatan, juga tidak ada air bersih yang mengalir ke rumahnya. Untuk urusan ini, semuanya dilakukan dibelakang rumah tanpa sanitasi.
Saat CM berkunjung ke gubuknya, Minggu (01/09/2019), Mak Entat begitu riang gembira. Serasa ada teman untuk bercerita, nenek tua ini sesenggukan mengisahkan dirinya sendiri. Suaranya terbata-bata dan intonasi nyaris tak jelas berbahasa sunda.
“Upami wengi mah nya poek atuh. Aya lilin caang. (Kalau malam ya gelap. Ada lilin untuk penerangan, Red),” katanya mengurai masalahnya, kepada CM.
Bagaimana dengan urusan makan dan minum? Ia mengaku terpaksa meminta kepada tetangga. Meskipun jika keseringan dia mengaku malu juga.
“Kadang emam sangu aron (kadang makan nasi aking/ nasi yang sudah dikeringkan dan dimasak lagi, red),” ujarnya.
Sementara urusan air bersih pun dia harus kepayahan berjalan dari gubuknya ke rumah tetangga. Meski malu, namun tak ada pilihan. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk tetap bertahan hidup.
Sebenarnya Mak Entat tidak sendirian hidup. Ada suaminya yang setia bersama dia, tapi kondisinya tak bisa diharapkan. Sudah udzur dan malah perlu perawatan Mak Entat.
Mak Entat dikarunia 4 orang anak, pertama bernama Sulaesih (50) berada di Lampung dan hingga sekarang tak jelas kabarnya. Lalu ada Sahudin (40) dan Holin (30) yang tinggal di wilayah Cikalong. Tapi ketiganya tak bisa diharapkan, mereka pengangguran.
Hanya seorang anaknya yang memiliki mata pencaharian cukup jelas, yakni Rohidin (35) yang bekerja sebagai pengayuh becak. Tapi tetap saja belum bisa membantu dirinya.
Nah, dimomen hari jadi Kabupaten Tasikmalaya ke 387 dan HUT RI ke-74, Mak Entat tak meminta banyak.
“Hoyongmah aya bantosan, isin ukeun ka tatanggi wae. (Maunya ada bantuan dari pemerintah, malu minta ke tetangga terus, Red),” imbuhnya sambil menyeka air mata.
Sementara itu, salah seorang tetangga Mak Entat Taryana (60) mengaku tak keberatan membantu Mak Entat. Bahkan, kata dia, beberapa tetangga begitu perhatian dengan kondisinya.
Tapi meski begitu, Taryana mengaku miris dengan kondisi nenek tua ini. Ia ingin membantu lebih banyak, tapi tak bisa. Maksud hati memeluk gunung apalah daya tangan tak sampai.
“Saya selalu memberikan air bersih. Ya untuk sholat, minum, maupun mandi. Bahkan tetangganya selalu menawarkan menginap,” katanya.
Ia mengaku tidak tega. Apalagi jika hujan melanda, rumah Mak Entat yang kondisinya masih kalah dengan kandang kambing, selalu bocor dan pasti dingin karena banyak bolong pada dindingnya.
“Pasti dingin, kasihan. Saya sedih melihatnya, apalagi waktu musim hujan semua pada bocor,” kata Taryana.
Adapun ketua RT setempat, Marsid (55) mengakui kondisi warganya itu. Tapi dia pun tidak dapat berbuat banyak. Membantu dengan ukuran besar, semisal merevonasi rumah Mak Entat atau menjamin makanannya setiap hari, bukanlah perkara gampang. Warga disana bukanlah golongan warga yang berada.
Pada akhirnya, Marsid berharap pada bantuan pemerintah. “Iya. Harus mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, yakni dinas sosial. Apalagi jika mau makan nasi harus minta-minta,” keluhnya. (Anto)





