CIREBON (CAMEON) – Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Sholihah, menegaskan adanya pesantren bukan menjadi pelanggaran terhadap hak anak. Akan tetapi, memasukan anak ke pesantren adalah satu pilihan pola asuh anak di keluarga.
”Pola pengajaran pesantren sangat berbeda dengan pola asuh lainnya. tidak bisa disamakan dengan pola pengajaran full day scholl atau boarding school,” kata Ai Maryati Sholihah saat mengisi acara Parenting Skill di Aula Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Cirebon, Rabu (17/20/2019).
Diungkap olehnya, pesantren itu akan mendidik anak menjadi pribadi yang lebih baik. Serta membentengi dengan ilmu agama untuk menjalankan kehidupan sosial dan bermasyarakat. Diakui olehnya, perlu ada kesepakatan antara anak dan orangtua terkait pengajaran di pesantren.
”Walaupun kebanyakan orangtua pada akhirnya dipaksa, namun paksaan itu akan berbuah kedisiplinan,” tegasnya.
Namun, paksaan tersebut jangan sampai menghasilkan kekerasan terhadap anak. Dia mengungkap kekerasan terhadap anak pada September 2017 cukup tinggi. terurama anak sebagai korban prostitusi online. Di mana angkanya sudah mencapai 83 orang. Selanjutnya, disusul oleh anak sebagai korban eksploitasi pekerja anak yang sudah mencapai 76 orang. Hal lainnya adalah anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak yang sudah mencapai 66 orang. Terakhir, anak korban perdagangan masih mencapai 31 orang. Angka tersebut masih dibawah pada 2016. Namun, angka 2017 tidak tertaut jauh.
Dalam kesempatan tersebut diakui olehnya, terdapat tujuh faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak. Di antaranya, budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orangtua, kurangnya kesadaran melaporkananaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan serta merosotnya moral.
Akan tetapi, pihaknya paling menyoroti pada masalah pola asuh anak. ”Terdapat tiga pola asuh orangtua yang dapat mempengaruhi. Yakni, permissif, otoriter dan demokrasi,” ucapnya.
Dia menjelaskan, pada pola asuh anak permissif porang tua cendrung memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa batasan dan aturan. Namun, tidak ada punishmen dan reward jika anak melakukan sesuatu. Selanjutnya, adalah otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat. Terakhir, pada pola asuh demokrasi, ungkap dia, orang tua meminta remaja berpartisipasi untuk membuat keputusan tentang keluarga dan nasib sendiri.
”Hal yang paling adalah hargai anak dan bersikap adil. Lalu, dengarkan keluhan anak serta ungkapkan dengan jelas ketidasetujuan yang dimiliki. Baik anak atau orangtua. Perlu ada peringatkan lebih awal untuk menghindar ketika marah. Serta berupaya lebih akrab,” pungkasnya. (Nita Nurdiani Putri)