News

Selamatkan Masa Depan Anak Korban Trafficking dan Eksploitasi

172
×

Selamatkan Masa Depan Anak Korban Trafficking dan Eksploitasi

Sebarkan artikel ini
Selamatkan Masa Depan Anak Korban Trafficking dan Eksploitasi
Ilustrasi

JAKARTA (CAMEON) – Kasus eksploitasi anak di Indonesia masih cukup tinggi. Kasus terakhir terjadi di Batam yang dilakukan oleh oknum tokoh agama. Di mana pada kasus tersebut, Paguyuban Sunda Batam menampung lima orang anak yang bekerja di Vihara. Dua di antaranya merupakan anak laki-laki. Sisanya adalah anak perempuan.

Menurut Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah, tiga anak perempuan tersebut mengaku sudah pernah diperkosa. Untuk itu, dari kasus tersebut sudah saatnya seluruh pihak  tidak  memberikan ruang dan toleransi kepada pelaku kejahatan seksual .

“Selain penegakan hukum dan rehabilitasi, anak korban trafficking harus dijamin proses reintegrasi dengan keluarga dan masyarakat,” kata Ai Maryati kepada wartawan ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (9/9/2017).

Sebab, lanjut dia, pata korban akan menanggung akibat yang sangat fatal. Apalagi korban mengalami perkosaan yang sangat mengguncang psikis. Sehingga, besar harapan kita semua pemerintah memberikan perhatian yang khusus. Begitu juga dengan proses rehabilitasi korban harus sesuai dengan UU No 21 /2007 tentang PTTPO yang menyatakan rehabilitasi kesehatan sebagai pemulihan kondisi semula. Baik fisik maupun psikis dan rehabilitasi sosial sebagai pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial.

”Serta pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat,” terangnya.

Kemudian, ungkap dia, hak restitusi yakni selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan saksi atau korban harus diperhatikan sejauh mana kerugian korban. Pada usia anak, kejahatan trafficking dan eksploitasi sangat rentan dengan beragam iming-iming dan bujuk rayu supaya korban memutuskan ikut pada mereka. Bahkan, tak jarang melalui pendekatan keluarga dan teman-teman sebayanya.

Mereka rela melepas hak pendidikan, pengasuhan di keluarga bahkan masa-masa bermain yang semestinya ia rasakan demi mengikuti ajakan pekerjaan yang semula dijanjikan. Proses memutus mata rantai ini tidaklah mudah. Sebab, perlu pencegahan dan kerja sama seluruh stake holder dalam mengawasi perkembangan mutakhir trafficking yang menyasar anak-anak ini.

”Dari pola sedemikian kuatnya trafficking pada anak-anak, maka pada kasus ini merupakan momentum pemerintah untuk mengembalikan masa depan anak-anak ini dalam upaya pemenuhan hak anak sebagaimana UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak,” jelasnya.

Dalam mengembalikan masa depan para korban, hendaknya proses reintegrasi anak-anak ini dioptimalkan oleh pemerintah. Proses yang dilakukan bisa melalui proses pemulihan dan inklusi sosial dan ekonomi setelah pengalaman trafficking agar korban menjalani arah kehidupan sejalan dengan pemulihan mereka dan move on (melanjutkan) hidup dan melupakan peristiwa buruk tersebut.

”Pada usia anak proses reintegrasi  sangat menentukan sejauh mana anak ini kembali merajut asa dan memiliki semangat hidup lebih baik di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Nita Nurdiani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *