KOTA TASIKMALAYA (CM) – Tidak adanya keberpihakan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) terhadap nasib para buruh. Malah membuat regulasi merugikan buruh dan rakyat. Sebaliknya regulasi Cipta Kerja menguntungkan para investor dan pengusaha.
Hal tersebut diungkapkan Korlap PC PMII Kota Tasikmalaya, Muhaemin Abdul Basit dan juga PB PMII mengatakan, bahwa pihaknya membawa 9 poin penolakan terhadap subtansi UU Cipta Kerja.
“Yang pertama, kami kecewa karena DPR RI dan Pemerintah tidak peka terhadap kesengsaraan rakyat ditengah pandemic covid-19 dan tidak fokus untuk mengurus serta menyelesaikan persoalan covid-19. Justru membuat regulasi merugikan buruh dan rakyat. Sebaliknya regulasi menguntungkan para investor dan pengusaha,” ungkap Muhaemin kepada media Rabu (7/10/2020).
Kedua, lanjut dia, kami menganggap DPR dan Pemerintah telah memfasilitasi kepentingan monopoli ekonomi korporasi dan oligarki yang dilegalkan dalam UU Cipta Kerja, dengan dalih mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
“Ketiga, kami berpendapat Proses Pembentukan UU Cipta Kerja tidak partisipatif dan eksklusif. Seharusnya, proses pembuatannya dilakukan dengan para pekerja untuk menyerap aspirasi pihak pekerja yang diatur. Proses pembentukannya melanggar prinsip kedaulatan rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan tidak mencerminkan asas keterbukaan sesuai Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Terlebih, pembentukan dan pengesahannya dilakukan ditengah pandemic covid-19,” sebutnya.
Kemudian, poin yang ke 4 (empat) kami merasa UU Cipta Kerja tidak menjamin kepastian hukum dan menjauhkan dari cita-cita reformasi regulasi. Sebab, pemerintah dan DPR berkilah bahwa RUU Cipta Kerja akan memangkas banyak aturan
yang dinilai over regulated. Namun, faktanya nantinya akan banyak pendeligasian pengaturan lebih lanjut pada peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang justru dikhawatirkan akan memakan waktu lama menghambat pelaksanaan kegiatan yang ada didalam UU Cipta Kerja.
“Kelima, kami menganggap DPR dan Pemerintah tidak pro terhadap rakyat kecil khususnya buruh, sebab
terdapat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial yang ada didalam Bab IV Ketenagakerjaan UU Cipta
Kerja, yakni Pasal 59 terkait Kontrak tanpa batas; Pasal 79 hari libur dipangkas; Pasal 88 mengubah terkait pengupahan pekerja; Pasal 91 aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai
ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja; Pasal 169 UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja atau buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK), jika merasa dirugikan oleh perusahaan,” papar Muhaemin.
Pada poin ke 6 (enam), kata Muhaemin, pihaknya merasa miris DPR dan Pemerintah akan memperkecil kemungkinan pekerja WNI untuk bekerja karena UU Cipta Kerja menghapus mengenai kewajiban mentaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi
bagi para Tenaga Kerja Asing (TKA). Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, TKA akan lebih mudah masuk karena perusahaan yang mensponsori TKA hanya membutuhkan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), tanpa izin lainnya.
“Ketujuh, kami berpendapat UU Cipta Kerja tidak mencerminkan pemerintahan yang baik (good
governance). Sebab, dalam pembentukannya saja sudah main kucing-kucingan dengan rakyat, apalagi nantinya saat
melaksanakan UU Cipta Kerja, bisa jadi rakyat akan di akal-akali dengan UU Cipta Kerja,” imbuhnya.
Selanjutnya, Muhaemin mengaku sangat kecewa UU Cipta Kerja menghilangkan point keberatan rakyat mengajukan gugatan
ke PTUN apabila perusahaan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan tanpa disertai Amdal. Sangat jelas disini, DPR dan Pemerintah berpihak pada kepentingan korporasi dan oligarki tanpa peduli terhadap kerusakan lingkungan dan kehidupan rakyat. Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni mensejahterakan rakyat.
“Terakhir, kami juga kecewa DPR dan Pemerintah mengkapitalisasi sektor pendidikan dengan memasukan aturan pelaksanaan perizinan sektor pendidikan melalui perizinan berusaha dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini termuat dalam Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU Cipta Kerja. 10. Pasal 1 Ayat 7 UU Pangan No.18 tahun 2012 dirubah menjadi Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya
Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan. Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Ada komersialisasi pendidikan secara fulgar dengan diberikan keleluasan bagi investor untuk mengejar keuntungan
sekaligus mempertegas bahwa sector pendidikan telah dikategorikan sebagai komoditi (liberalisasi/komodifikasi) oleh
WTO yang mana Indonesia sudah meratifikasinya,” tuturnya. (Edi Mulyana)
							




