News

180 Kasus Kekerasan di Tasikmalaya, Forum Puspa Dorong Keberadaan Rumah Aman

62
×

180 Kasus Kekerasan di Tasikmalaya, Forum Puspa Dorong Keberadaan Rumah Aman

Sebarkan artikel ini

KOTA TASIK (CM) – Di tengah kesejukan Kota Santri yang dikenal religius, ada kenyataan getir yang masih menjerat banyak perempuan dan anak dalam kekerasan.

Data terbaru dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (PPKBP3A) Kota Tasikmalaya mencatat 180 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2025.

Angka itu bukan sekadar statistik. Di balik setiap angka, ada cerita luka yang belum sembuh, tangis yang tertahan, dan rasa takut yang belum benar-benar pergi.

“Setiap kali menerima laporan, kami tahu bahwa di baliknya ada jiwa yang butuh ditolong, bukan sekadar kasus yang harus dicatat,” tutur Heni Handini, M.Pd, Ketua Forum Puspa Kota Tasikmalaya, membuka kisah dengan nada lirih namun tegas.

Dari 180 kasus yang tercatat, sebagian besar melibatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, hingga penelantaran anak. Kekerasan tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis mendalam yang sering kali tidak terlihat.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan bahwa di Indonesia, tren kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi — lebih dari 23 ribu kasus tercatat sepanjang 2024.

Itu berarti, rata-rata setiap dua jam ada satu perempuan atau anak yang menjadi korban kekerasan di negeri ini.

“Angka yang sebenarnya bisa lebih besar, karena masih banyak korban yang tidak berani melapor,” ujar Heni.
Faktor rasa malu, takut dikucilkan, hingga ketergantungan ekonomi pada pelaku membuat korban lebih memilih diam.

Melihat kondisi itu, Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Kota Tasikmalaya memutuskan untuk tidak diam.

Forum yang beranggotakan perwakilan masyarakat, akademisi, tokoh agama, hingga aktivis sosial ini bergerak bersama menciptakan solusi nyata pelatihan paralegal bagi 64 anggotanya.

Kegiatan bertajuk Workshop Paralegal Perlindungan Anak dan Perempuan itu digelar di Gedung Galih Pawestri, Rabu, 29 Oktober 2025.
Tujuannya sederhana tapi berdampak besar, yakni memperkuat kapasitas masyarakat agar mampu mendampingi korban kekerasan dengan pendekatan hukum dan psikologis yang lebih empatik.

“Kami ingin perempuan memiliki akses keadilan yang sama. Dengan adanya paralegal di lingkungan masyarakat, korban bisa lebih cepat mendapatkan pendampingan, tanpa harus menunggu lama di meja birokrasi,” jelas Heni.

Paralegal di sini bukan pengacara profesional, melainkan relawan terlatih yang memahami dasar hukum, hak-hak korban, serta prosedur pelaporan ke aparat. Mereka diharapkan menjadi jembatan pertama antara korban dan lembaga hukum, sekaligus memberikan dukungan moral di saat-saat sulit.

Namun perjuangan itu tak mudah. Di balik semangat advokasi, Forum Puspa menghadapi realitas pahit: Kota Tasikmalaya belum memiliki Rumah Aman atau shelter resmi bagi korban kekerasan.

Rumah aman sejatinya berfungsi sebagai tempat perlindungan sementara bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang tidak bisa kembali ke rumah karena ancaman dari pelaku.

Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya, rumah aman menjadi bagian penting dari sistem perlindungan sosial. Tapi di Tasikmalaya, fasilitas ini masih absen.

“Banyak korban yang enggan pulang karena pelaku masih di rumah, kadang keluarga sendiri. Tapi di sisi lain, mereka tidak tahu harus tinggal di mana. Ini menyedihkan,” kata Heni.

Sementara itu, untuk layanan psikologis, hanya ada satu rumah sakit swasta yang memiliki poli jiwa di Kota Tasikmalaya.

“Syukurlah RS itu memberikan keringanan biaya, tapi tetap tidak semua korban mampu menjangkaunya,” tambahnya.

Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan.

Kabar menggembirakan datang dari Kepala Dinas PPKBP3A Kota Tasikmalaya, H. Imin Muhaemin, yang turut hadir dalam pembukaan workshop.

Menurutnya, pemerintah kota sedang menyiapkan ruang aman di RS Dewi Sartika sebagai solusi awal sebelum dibangunnya rumah aman permanen.

“Kami sangat mengapresiasi langkah ini. Meski kecil, ruang aman akan menjadi titik awal penting untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan,” kata Heni penuh harap.

Ruang aman itu nantinya akan menjadi tempat singgah sementara, di mana korban bisa menjalani trauma healing, konseling psikologis, dan pendampingan hukum, sebelum kembali ke lingkungan yang lebih aman.

Forum Puspa sendiri telah menyiapkan tim pemulihan multidisiplin, terdiri dari psikolog, psikiater, advokat, dan relawan sosial.

“Dengan adanya rumah atau ruang aman, kerja kami jadi lebih terarah. Korban tidak hanya kami bantu secara hukum, tapi juga dari sisi kemanusiaan,” tegas Heni.

Semangat para perempuan tangguh ini tak luput dari perhatian Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, H. Wahid, S.Pd.I, yang membuka kegiatan tersebut.

Ia menyebut langkah Forum Puspa sebagai “gerakan sosial yang sangat relevan di tengah meningkatnya kasus kekerasan.”

“Para kader Forum Puspa ini luar biasa. Di tengah kesibukan mereka mengurus keluarga, masih menyempatkan waktu untuk membantu masyarakat, terutama korban kekerasan anak dan perempuan,” ujar Wahid dengan nada kagum.

Ia menilai, perjuangan perempuan untuk membantu perempuan lain adalah bentuk solidaritas sosial yang harus didukung oleh kebijakan publik.

Wahid juga menekankan pentingnya edukasi hukum dan kesadaran masyarakat agar pencegahan kekerasan bisa dimulai sejak dini.

“Masyarakat harus paham bahwa kekerasan bukan urusan pribadi, tapi pelanggaran hukum dan kemanusiaan. Pemerintah harus aktif menyosialisasikan dampak psikologis dan hukum dari kekerasan,” tegasnya.

Menurut catatan Komnas Perempuan, sebagian besar kekerasan terjadi di ranah domestik — rumah, tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman.

Kekerasan bisa berupa verbal, emosional, finansial, hingga seksual. Sering kali korban bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi korban, karena kekerasan dibungkus dalam bentuk kontrol, ancaman, atau manipulasi emosional.

Pegiat Sosial dari Paguyuban Pegiat Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas) Harniwan Obech, menyebut bahwa Tasikmalaya menghadapi tantangan kultural tersendiri.

“Nilai-nilai patriarki yang masih kuat membuat perempuan sulit melapor. Mereka takut dicap pembangkang atau merusak nama baik keluarga, sama hamper sepertinya dengan kalangan kaum disabilitas,” ujarnya.

Di sinilah peran Forum Puspa menjadi penting sebagai wadah pemberdayaan yang berbicara dalam bahasa yang dimengerti masyarakat.

Pendekatannya bukan konfrontatif, melainkan persuasif dan berbasis empati, agar korban merasa aman dan diterima.

Gerakan yang Tak Sekadar Reaktif

Forum Puspa tidak hanya bergerak ketika kasus muncul. Mereka juga aktif melakukan edukasi di sekolah-sekolah, kampung, dan majelis taklim, mengajarkan pentingnya kesetaraan gender, komunikasi sehat dalam keluarga, serta hak anak dan perempuan.

Selain itu, Forum Puspa juga membangun jejaring dengan aparat kepolisian, dinas sosial, dan lembaga hukum, agar penanganan korban bisa lebih cepat dan terintegrasi.

“Kalau ada laporan, kami langsung koordinasi lintas sektor. Kami ingin korban merasa bahwa ada yang siap membela mereka,” tutur Heni.

Di ujung perbincangan, Heni menyampaikan harapan besar: agar suatu hari nanti, Tasikmalaya dikenal bukan hanya sebagai Kota Santri, tetapi juga Kota Ramah Perempuan dan Anak.

“Perempuan dan anak harus merasa aman di mana pun mereka berada. Mereka tidak boleh takut untuk bicara, tidak boleh merasa sendirian,” ucapnya.

Perjalanan ke arah itu memang panjang. Tapi dengan semangat para relawan Forum Puspa, dukungan legislatif, serta komitmen dinas terkait, harapan itu perlahan menjadi nyata.

Langkah kecil seperti pelatihan paralegal hari itu menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari kepedulian — dan kepedulian adalah bentuk paling kuat dari cinta terhadap sesama manusia.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan sekadar masalah hukum, melainkan masalah kemanusiaan dan sosial yang kompleks.
Upaya memutus rantai kekerasan membutuhkan pendekatan multidisiplin, mulai dari pendidikan, psikologi, hukum, hingga ekonomi.

Gerakan Forum Puspa di Tasikmalaya menjadi cerminan bahwa perubahan bisa datang dari komunitas  dari perempuan yang saling menopang di tengah luka.

Mereka adalah bukti bahwa empati bisa menjelma menjadi kekuatan, dan kekuatan itu bisa menumbuhkan harapan baru bagi mereka yang pernah terluka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *