OPINI

Pancasila dan Mayat-mayat Demokrasi

100
×

Pancasila dan Mayat-mayat Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Pancasila dan Mayat-mayat Demokrasi
Ilustrasi

Pancasila dan Mayat-mayat DemokrasiPancasila pada hakikatnya adalah sistem nilai (value system) yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia. Sepanjang sejarah yang berakar dari unsur-unsur kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu menjadi kebudayaan bangsa Indonesia.

Para pendiri Negara Indonesia menyadari bahwa makna hidup bagi bangsa Indonesia harus ditemukan dalam budaya dan peradaban bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini dan dihayati kebenarannya oleh masyarakat seiring helaian sejarah yang memanjang.

Hal inilah yang menjadi dasar bahwa pendirian Negara Indonesia harus memiliki pandangan yang diyakini kebenarannya itu, dan menimbulkan tekad bangsa untuk mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa, inilah yang menjadi titik kelahiran pancasila. Lebih dari itu, pancasila diharapan mampu menjadi bingkai bagi tindak-tanduk dan perbuatan untuk mencapai cita-cita bangsa.

Pancasila lahir dengan spirit dialektika sejarah yang memanjang dan terkandung didalamnya nilia-nilai yang bersifat universal yang mampu merajut seluruh segmentasi masyarakat yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

Menurut Hegel hakikat filsafat ialah suatu sintesis pikiran yang lahir dari antitesis pikiran. Dari pertentangan pikiran, lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula denga ajaran Pancasila suatu sintesis negara yang lahir dari benturan tesis dan antitesis.

Dalam konteks kenegaraan Pancasila digunakan sebagai alat politik secara komprehensif untuk mengatur kehidupan masyarakat Indonesia. Demokrasi yang bersemayam lama di negeri ini menjadi identitas bangsa Indonesia. Demokrasi dengan segala mimpi fantastisnya untuk berbicara keadilan yang sesungguhnya di negeri yang bersikap multicultural dengan semboyan di kata pengawal bertuliskan “bhineka” yang bermakna beraneka ragam menunjukan bahwa sikap dan perilaku masyarakat Indonesia sangat beragam.

Menurut Dr. H. Simma, Lc, MA. MBA dalam bukunya “Harmony Dalam Kebhinekaan” menunjukan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, 1.128 suku bangsa, 1158 bahasa daerah, 6 agama mayoritas, ratusan aliran kepercayaan lokal lainnya. Hal tersebut adalah potensi positif yang sangat bernilai sebagai modal dasar pembangunan bangsa.

Dengan pancasila sebagai falsafah dasar mampu menghimpun peradaban yang lahir disetiap wilayah tanpa ada bentuk intervensi budaya sehingga secara keseluruhan dapat beriringan baik konteks kebudayaan, peradaban, hingga konteks kenegaraan.

Pancasila dan demokrasi semestinya mampu berjalan berdampingan menuju cita-cita bangsa. Dengan spirit yang lahir berbasis ideologis, historis, dan filosofis, seharusnya matang akan epistem bagi sebuah Negara sehingga dapat menjadi pijakan dasar dan penjaga stabiltas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seiring berjalannya waktu, lembaran sejarah memanjang, suhu dinamika kenegaraan semakin tinggi, konflik masyarakat semakin kompleks hal ini menjadi lampu kuning bagi para pemangku kebijakan baik di daerah maupun di wilayah pusat. Lagi-lagi berbicara falsafah negara menjadi momentum yang bersifat fundamental dan menjadi sebuah keniscayaan bagi tatanan masyarakat. Karena bagaimanapun juga masyarakat menjadi prioritas utama dari sebuah bangsa.

Masyarakat menjadi representatif dari keunggulan bangsa. Satu yang menjadi parameter fundamental dari sistem demokrasi adalah sebuah keadilan. Bagaimana daerah dan pusat mampu memberikan distribusi kesejahteraan secara berkeadilan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah yang besar dengan potensi yang kaya rupanya sekedar menjadi imajinasi rakyat belaka. Distribusi kesejahteraan yang jauh dari keadilan, disisi lain karakter bangsa yang seakan dijunjung tinggi dengan manipulasi kepercayaan masyarakat hadir dengan by design dari kelompok elit politik yang memiliki hubungan perselingkuhan yang sangat harmonis dengan media-media yang bekerja lintas lapisan masyarakat untuk memberikan informasi-informasi dengan tujuan menggiring opini publik, sehingga kebenaran menjadi kabur dan keniscayaan sulit didambakan.

Hal ini terjadi karena demokrasi hanya menjadi jargon yang diteriakan saat menjelang kontestasi politik. Demokratisasi berarti penggusuran. Penggusuran kebenaran, penggusuran hak-hak rakyat. Karena sejatinya ketika demokrasi hanya dijadikan kedok belaka dan konsep keadilan dikesampingkan maka yang akan terjadi adalah rakyat semakin tergiring pada kesengsaraan.

Demokrasi hanya dapat dinikmati oleh para pemodal, para pemilik kapital, para penguasa media dan informasi. Sehingga penguasa alat komunikasi dan ekonomilah yang mendominasi, yang lainnya akan bersifat konsumerisme saja. Ini yang menjadikan esensi dari demokrasi semakin sirna tergerus sistem yang sengaja dikelola oleh kaum minoritas yang berkuasa.

Lantas bagaimana pancasila hadir menjadi penyelamat atas hak-hak yang bersifat kerakyatan baik dari pendekatan rasional-tekstual maupun filosofis-gonstik, nilai-nilai yang dibawa oleh lima sila yang termaktub dalam pancasila memberikan spirit tersendiri secara objektif baik vertikal maupun horizontal.

Melihat progresifitas pemerintah yang semakin terjun bebas serta jauh dari esensi demokrasi dengan makna yang sebenarnya. Konflik marak terjadi, toleransi akhirnya tinggal kenangan, kediktaktoran semakin jelas terlihat. Bagaimana keadilan mampu tercapai apabila kelompok elit masih mengedepankan kepentingan mereka sendiri seakan lupa kemaslahatan rakyatlah yang menjadi tanggungjawab utama untuk menuju masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

Konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) oleh PT Sejahtera Alam Energy (PT SAE) di daerah Banyumas, Penggusuran di Dago Elos dan Tamansari di Kota Bandung, PHK 1905 secara illegal Awak Mobil Tanki Pertamina, pembungkaman buruh melalui sistem outsourcing, Tindakan represif dari pihak kepolisian terhadap massa aksi, perusakan ekosistem dalam pembangunan reklamasi Jakarta, ekspansi kapital dalam proyek meikarta, belum lagi kemiskinan belum teratasi, pendidikan yang buruk, penegakan hukum yang lemah, isu SARA merajalela dan masih banyak lagi realitas di negeri ini yang menjadi tanggungjawab kita bersama.

Ini membuktikan bahwa nilai-nilai keadilan belum dapat dirasakan oleh masyarakat. Belum lagi dengan media yang terindikasi bekerjasama dengan pemerintah menjadi alat politik untuk mengggiring paradigma masyarakat sehingga sebuah kebohongan yang terstruktur akan mampu menjadi substansi yang diterima masyakarakat, seakan menjadi sebuah kebenaran.

Media berbicara seperti nabi yang bersabda akan sebuah kebenaran. Doktrin yang dilakukan terus menerus dan akhirnya menjadi dogma ditengah masyarakat dan untuk memilah benar-salah menjadi hal yang tidak mudah.

Karakter bangsa mengalami degradasi seiring tantangan zaman yang dialamatkan pada negeri ini. Karena komunikasi lintas Negara menjadi daya saing tersendiri dimana nilai tanpa rasionalitas mampu diperjualbelikan sebagai transaksi politik. Akhirnya kompetisi nilai yang dihadapkan, sehingga karakter-karakter yang ada akhirnya melalui adopsi dan nilai-nilai ditengah masyarakat menjadi kabur karena terkontaminasi oleh karakter dari luar yang belum tentu selaras dari budaya bangsa kita yang memang sejak dulu sudah ada.

Menurut Jean Bodin (1530-1596), kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Namun realitasnya bangsa kita hari ini yang katanya kedaulatan dipegang oleh rakyat menjadi sirna perlahan. Dari J ohn LockeMontesquieu sampai J.J Rousseau seakan konsepnya menjadi kenangan sejarah yang dilipat diam-diam. Kedaulatan menjadi kelompok elit politik.

Lantas dimana nilai-nilai pancasila? Dimana nilai keadilan yang diusung oleh demokrasi? John Rawls (1971), dalam bukunya  A Theory of Justice (Teori Keadilan) mengenai konsep justice as fairness dapat dimaknai sebagai keadilan merupakan nilai kejujuran yang luhur. Ini menunjukkan bahwa nilainya selaras dengan yang dimanifestasikan Tuhan. Didukung dengan nilai vertikalnya Pancasila yang menunjukan bahwa kecintaan kepada Tuhan sebagai sumber dari kebaikan, keindahan, dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan, kemudian diaktualisasikan dengan usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan amal saleh (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan).

Jadi Ketuhanan termanifestasi dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan QS (24:39). Oleh karena itu, semangat Ketuhanan dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh.

Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban QS (9:109). Sedangkan nilai horizontal dimaksudkan menuju kepada konteks kemanusiaan baik peradaban, persatuan, solidaritas dan keadilan. Semuanya menuju pada arah penegakkan keadilan yang mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat QS (2:278-279).

Degradasi intelektual dan kecacatan dalam bernalar menjadi bayang-bayang kematian sebuah demokrasi bangsa. Seakan bangsa ini mati suri yang entah kapan kebangkitannya. Sebuah kebohongan apabila hari ini bangsa Indonesia telah mengibarkan bendera tanda kemerdekaannya, hari ini bangsa Indonesia meneriakkan kebangkitannya. Sebuah kematian dalam sistem demokrasi akan menjadi ke-angkeran tersendiri bagi negeri ini.

Penulis: Agus Riyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *